Feeds:
Posts
Comments

Posts Tagged ‘jumrah aqabah’

Kita sering dihadapkan pada ragam ibadah yang berbeda satu dengan lainnya. Namun ketika telah mengikrarkan syahadat Muhammadarrasulullah, maka yang semestinya terpatri di benak kita adalah meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segenap aspek dan tata cara ibadah, termasuk berhaji.

Pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji merupakan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjadi dambaan setiap muslim. Predikat ‘Haji Mabrur’ yang tiada balasan baginya kecuali Al-Jannah (surga) tak urung menjadi target utama dari kepergiannya ke Baitullah. Namun, mungkinkah semua yang berhaji ke Baitullah dapat meraihnya? Tentu jawabannya mungkin, bila terpenuhi dua syarat:
1. Di dalam menunaikannya benar-benar ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karena mencari pamor atau ingin menyandang gelar ‘Pak haji’ atau ‘Bu haji/hajjah’.
2. Ditunaikan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para pembaca, sebagaimana disebutkan dalam bahasan yang lalu bahwa ibadah haji ada tiga jenis; Tamattu’, Qiran, dan Ifrad. Bagi penduduk Indonesia, haji yang afdhal adalah haji Tamattu’. Hal itu dikarenakan mayoritas mereka tidak ada yang berangkat haji dengan membawa hewan kurban. Walhamdulillah, selama ini mayoritas jamaah haji Indonesia berhaji dengan jenis haji tersebut. Maka dari itu akan sangat tepat bila kajian kali ini lebih difokuskan pada tatacara menunaikan haji Tamattu’.

Saudaraku, jamaah haji Indonesia –menurut kebiasaan– terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama akan berangkat ke kota Madinah terlebih dahulu, dan setelah tinggal beberapa hari di sana, barulah berangkat ke kota suci Makkah. Sehingga untuk jamaah haji kelompok pertama ini, start ibadah hajinya dari kota Madinah dan miqatnya adalah Dzul Hulaifah. Adapun kelompok kedua, mereka akan langsung menuju kota Makkah, dan miqatnya adalah Yalamlam yang jarak tempuhnya sekitar 10 menit sebelum mendarat di Bandara King Abdul Aziz Jeddah. Sehingga start ibadah hajinya (niat ihramnya) sejak berada di atas pesawat terbang.

Adapun manasik haji Tamattu’ yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:
1. Bila anda telah berada di miqat, maka mandilah sebagaimana mandi janabat, dan pakailah wewangian pada tubuh anda bila memungkinkan. Mandi tersebut juga berlaku bagi wanita yang haidh dan nifas. Untuk kelompok kedua yang niat ihramnya dimulai ketika di atas pesawat terbang, maka mandinya bisa dilakukan di tempat tinggal terakhirnya menjelang penerbangannya.

2. Kemudian pakailah kain ihram yang terdiri dari dua helai (yang afdhal berwana putih); sehelai disarungkan pada tubuh bagian bawah dan yang sehelai lagi diselempangkan pada tubuh bagian atas. Untuk kelompok kedua yang niat ihramnya dimulai ketika di atas pesawat terbang, maka pakaian ihramnya bisa dikenakan menjelang naik pesawat terbang atau setelah berada di atas pesawat terbang, dengan jeda waktu yang agak lama dengan miqatnya agar ketika melewati miqat dalam kondisi telah mengenakan pakaian ihramnya. Adapun wanita, tidaklah mengenakan pakaian ihram tersebut di atas, akan tetapi mengenakan pakaian yang biasa dikenakannya dengan kriteria menutup aurat dan sesuai dengan batasan-batasan syar’i.

3. Kemudian (ketika berada di miqat) berniatlah ihram untuk melakukan umrah dengan mengatakan:

لَبَّيْكَ عُمْرَةً

“Kusambut panggilan-Mu untuk melakukan umrah.”
Kemudian dilanjutkan dengan ucapan talbiyah:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

“Kusambut panggilan-Mu Ya Allah, kusambut panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kerajaan hanyalah milik-Mu tiada sekutu bagi-Mu.”

Perbanyaklah bacaan talbiyah (umrah) ini dengan suara yang lantang1 sepanjang perjalanan ke Makkah, dan berhentilah dari talbiyah ketika menjelang thawaf. Hindarilah talbiyah secara bersama-sama (berjamaah), karena yang demikian itu tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

Di antara hal-hal yang harus diperhatikan ketika berihram adalah sebagai berikut:
 Menjalankan segala apa yang telah diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti shalat lima waktu dan kewajiban-kewajiban yang lainnya.
 Meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di antaranya; kesyirikan, perkataan kotor, kefasikan, berdebat dengan kebatilan, dan kemaksiatan lainnya.
 Tidak boleh mencabut rambut atau pun kuku, namun tidak mengapa bila rontok atau terkelupas tanpa sengaja.
 Tidak boleh mengenakan wewangian baik pada tubuh ataupun kain ihram. Dan tidak mengapa adanya bekas wewangian yang dikenakan sebelum melafazhkan niat ihram.
 Tidak boleh berburu atau pun membantu orang yang berburu.
 Tidak boleh mencabut tanaman yang ada di tanah suci, tidak boleh meminang wanita, menikah, atau pun menikahkan.
 Tidak boleh menutup kepala dengan sesuatu yang menyentuh (kepala tersebut) dan tidak mengapa untuk memakai payung, berada di bawah pohon, ataupun atap kendaraan.
 Tidak boleh memakai pakaian yang sisi-sisinya melingkupi tubuh (baju, kaos), imamah (sorban), celana, dan lain sebagainya.
 Diperbolehkan untuk memakai sandal, cincin, kacamata, walkman, jam tangan, sabuk, dan tas yang digunakan untuk menyimpan uang, data penting dan yang lainnya.
 Diperbolehkan juga untuk mengganti kain yang dipakai atau mencucinya, sebagaimana pula diperbolehkan membasuh kepala dan anggota tubuh lainnya.
 Tidak boleh (bagi yang sudah berniat haji) melewati miqatnya dalam keadaan tidak mengenakan pakaian ihram.
Apabila larangan-larangan ihram tersebut dilanggar, maka dikenakan dam (denda) dengan menyembelih hewan kurban (seekor kambing/sepertujuh unta/sepertujuh sapi).

4. Bila telah tiba di Makkah (di Masjidil Haram) maka pastikan telah bersuci dari hadats (sebagai syarat thawaf, menurut madzhab yang kami pilih).

5. Lalu selempangkanlah pakaian atas ke bawah ketiak kanan, dengan menjadikan pundak kanan terbuka dan pundak kiri tetap tertutup.

6. Kemudian lakukanlah thawaf sebanyak 7 putaran. Dimulai dari Hajar Aswad dengan memosisikan Ka’bah di sebelah kiri anda, sambil mengucapkan “Bismillahi Allahu Akbar.” Dari Hajar Aswad sampai ke Hajar Aswad lagi, terhitung 1 putaran.
 Disunnahkan berlari-lari kecil (raml) pada putaran ke-1 hingga ke-3 pada thawaf qudum.
 Disunnahkan pula setiap kali mengakhiri putaran (ketika berada di antara 2 rukun: Yamani dan Hajar Aswad) untuk membaca:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Ya Allah, limpahkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan juga kebaikan di akhirat, serta jagalah kami dari adzab api neraka.”
 Disunnahkan pula setiap kali tiba di Hajar Aswad untuk mencium atau memegangnya lalu mencium tangan yang digunakan untuk memegang tersebut, atau pun berisyarat saja dengan tangan (tanpa dicium), sambil mengucapkan: “Allahu Akbar”2 atau “Bismillahi Allahu Akbar”3.
 Disunnahkan pula setiap kali tiba di Rukun Yamani untuk menyentuh/mengusapnya tanpa dicium dan tanpa bertakbir. Dan bila tidak dapat mengusapnya maka tidak disyariatkan mengusapnya.
 Bila terjadi keraguan tentang jumlah putaran Thawaf, maka ambillah hitungan yang paling sedikit.

7. Seusai Thawaf, tutuplah kembali pundak kanan dengan pakaian atas anda, kemudian lakukanlah shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim (tempat berdirinya Nabi Ibrahim ketika membangun Ka’bah) walaupun agak jauh darinya. Dan bila kesulitan (tidak memungkinkan) mendapatkan tempat di belakang Maqam Ibrahim maka tidak mengapa shalat di bagian mana saja dari Masjidil Haram. Disunnahkan pada rakaat pertama membaca surat Al-Fatihah dan Al-Kafirun, sedangkan pada rakaat kedua membaca surat Al-Fatihah dan Al-Ikhlash.

8. Kemudian minumlah air zam-zam dan siramkan sebagiannya pada kepala.

9. Lalu ciumlah/peganglah Hajar Aswad bila memungkinkan, dan tidak dituntunkan untuk berisyarat kepadanya.4

10. Setelah itu pergilah ke bukit Shafa untuk bersa’i. Setiba di Shafa bacalah:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِاللهِ

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah itu termasuk dari syi’ar-syi’ar Allah.” (Al-Baqarah: 158)

أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ

“Aku memulai (Sa’i) dengan apa yang dimulai oleh Allah (yakni Shafa dahulu kemudian Marwah, pen.).”

11. Kemudian menghadaplah ke arah Ka’bah (dalam keadaan posisi masih di Shafa), lalu ucapkanlah:

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ
لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ أَنْجَزَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ

“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah tiada sekutu bagi-Nya, hanya milik-Nya segala kerajaan dan pujian, Dzat yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan serta Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, yang telah menepati janji-Nya, memenangkan hamba-Nya dan menghancurkan orang-orang bala tentara kafir tanpa bantuan siapa pun.”

Ini dibaca sebanyak 3 kali. Setiap kali selesai dari salah satunya, disunnahkan untuk berdoa memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala segala apa yang kita inginkan.

12. Setelah itu berangkatlah menuju Marwah, dan ketika lewat di antara dua tanda hijau percepatlah jalan anda lebih dari biasanya. Setiba di Marwah lakukanlah seperti apa yang dilakukan di Shafa (sebagaimana yang terdapat pada point ke-11 di atas). Dengan demikian telah terhitung satu putaran. Lakukanlah yang seperti ini sebanyak 7 kali (dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwah).

13. Seusai Sa’i, lakukanlah tahallul dengan mencukur rambut kepala secara merata (bagi pria) dan bagi wanita dengan memotong sepanjang ruas jari dari rambut yang telah disatukan. Dengan bertahallul semacam ini, maka anda telah menunaikan ibadah umrah dan diperbolehkan bagi anda segala sesuatu dari mahzhuratil Ihram (hal-hal yang dilarang ketika berihram).

14. Tanggal 8 Dzul Hijjah (hari Tarwiyah), merupakan babak kedua untuk melanjutkan rangkaian ibadah haji anda. Maka mandilah dan pakailah wewangian pada tubuh serta kenakan pakaian ihram.

15. Setelah itu berniatlah ihram untuk haji dari tempat tinggal anda di Makkah, seraya mengucapkan:

لَبَّيْكَ حَجًّا

“Kusambut panggilan-Mu untuk melakukan ibadah haji.”
Kemudian lantunkanlah ucapan talbiyah5:

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

“Kusambut panggilan-Mu Ya Allah, kusambut panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kerajaan hanyalah milik-Mu tiada sekutu bagi-Mu.”
Dengan masuknya ke dalam niat ihram haji ini, berarti anda harus menjaga diri dari segala mahzhuratil ihram sebagaimana yang terdapat pada point ke-3.

16. Kemudian berangkatlah menuju Mina untuk mabit (menginap) di sana. Setiba di Mina kerjakanlah shalat-shalat yang 4 rakaat (Dzuhur, Ashar, dan ‘Isya) menjadi 2 rakaat (qashar) dan dikerjakan pada waktunya masing-masing (tanpa dijama’).

17. Ketika matahari telah terbit di hari 9 Dzul Hijjah, berangkatlah menuju Arafah (untuk wukuf). Perbanyaklah talbiyah, dzikir dan istighfar selama perjalanan anda menuju Arafah.

18. Setiba di Arafah (pastikan bahwa anda benar-benar berada di dalam areal Arafah), manfaatkanlah waktu anda dengan memperbanyak doa sambil menghadap kiblat dan mengangkat tangan, serta dzikrullah. Karena saat itu anda sedang berada di tempat yang mulia dan di waktu yang mulia (mustajab) pula. Sebaik-baik bacaan yang dibaca pada hari itu adalah:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah tiada sekutu bagi-Nya, hanya milik-Nya segala kerajaan dan pujian, dan Dia adalah Dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (HR. At-Tirmidzi no. 3585, dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no.1503)

Untuk selebihnya anda bisa membaca tuntunan doa-doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang anda kehendaki. Lakukanlah amalan-amalan mulia di atas hingga matahari terbenam. Adapun shalat Dzuhur dan Ashar di Arafah, maka keduanya dikerjakan di waktu Dzuhur (jama’ taqdim) 2 rakaat – 2 rakaat (qashar), dengan satu adzan dan dua iqamat.

19. Ketika matahari terbenam, berangkatlah menuju Muzdalifah dengan tenang sambil selalu melantunkan talbiyah. Setiba di Muzdalifah, kerjakanlah shalat Maghrib dan ‘Isya di waktu ‘Isya (jama’ ta`khir) dan diqashar (Maghrib 3 rakaat, ‘Isya 2 rakaat), dengan satu adzan dan dua iqamat. Kemudian bermalamlah di sana hingga datang waktu shubuh. Seusai mengerjakan shalat shubuh, perbanyaklah doa dan dzikir sambil menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan, hingga hari nampak mulai terang (sebelum matahari terbit).

20. Kemudian (sebelum matahari terbit), berangkatlah menuju Mina sambil terus bertalbiyah. Bila ada para wanita atau pun orang-orang lemah yang bersama anda, maka diperbolehkan bagi anda untuk mengiringi mereka menuju Mina di pertengahan malam. Namun melempar jumrah tetap dilakukan setelah matahari terbit.

21. Ketika tiba di Mina (tanggal 10 Dzul Hijjah) kerjakanlah hal-hal berikut ini:
 Lemparlah jumrah Aqabah dengan 7 batu kerikil (sebesar kotoran kambing) dengan bertakbir pada tiap kali lemparan. Pastikan setiap lemparan yang anda lakukan mengenai sasarannya.
 Sembelihlah Hadyu (hewan kurban), makanlah sebagian dagingnya serta shadaqahkanlah kepada orang-orang fakir yang ada di sana. Boleh juga penyembelihan ini diwakilkan kepada petugas resmi dari pemerintah Saudi Arabia yang ada di Makkah dan sekitarnya. Bila tidak mampu membeli atau menyembelih hewan kurban, maka wajib puasa tiga hari di hari-hari haji (boleh dilakukan di hari-hari Tasyriq, namun yang lebih utama dilakukan sebelum tanggal 9 Dzul Hijjah/hari Arafah6) dan tujuh hari setelah pulang ke kampung halaman.
 Potong atau cukurlah seluruh rambut kepala anda secara merata, dan mencukur habis lebih utama. Adapun wanita cukup memotong sepanjang ruas jari dari rambut kepalanya yang telah disatukan.
Demikianlah urutan paling utama dari sekian amalan yang dilakukan di Mina pada tanggal 10 Dzul Hijjah tersebut, namun tidak mengapa bila didahulukan yang satu atas yang lainnya.

22. Bila anda telah melempar jumrah Aqabah dan menggundul (atau mencukur rambut), maka berarti anda telah bertahallul awal. Sehingga diperbolehkan bagi anda untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya dilarang ketika berihram, kecuali satu perkara yaitu menggauli isteri.

23. Pakailah wewangian, kemudian pergilah ke Makkah untuk melakukan thawaf ifadhah/thawaf haji (tanpa lari-lari kecil pada putaran ke-1 hingga ke-3), berikut Sa’i-nya. Dengan selesainya amalan ini, berarti anda telah bertahallul tsani dan diperbolehkan kembali bagi anda seluruh mahzhuratil ihram.

Catatan Penting: Thawaf ifadhah boleh diakhirkan, dan sekaligus dijadikan sebagai thawaf wada’ (thawaf perpisahan) yang dilakukan ketika hendak meninggalkan kota suci Makkah.

24. Setelah melakukan thawaf ifadhah pada tanggal 10 Dzul Hijjah tersebut, kembalilah ke Mina untuk mabit (bermalam) di sana selama tanggal 11, 12, dan 13 Dzul Hijjah (hari-hari tasyriq). Tidak mengapa bagi anda untuk bermalam 2 malam saja (tanggal 11 dan 12-nya/nafar awal).

25. Selama 2 atau 3 hari dari keberadaan anda di Mina tersebut, lakukanlah pelemparan pada 3 jumrah yang ada; Sughra, Wustha, dan Aqabah (Kubra). Pelemparan jumrah pada hari-hari itu dimulai setelah tergelincirnya matahari (setelah masuk waktu Dzuhur), hingga waktu malam.

Caranya:

Sediakan 21 butir batu kerikil (sebesar kotoran kambing). Kemudian pergilah ke jumrah Sughra dan lemparkanlah ke arahnya 7 butir batu kerikil (satu demi satu) dengan bertakbir pada setiap kali pelemparan. Pastikan lemparan tersebut masuk ke dalam sasaran. Bila ternyata tidak masuk, maka ulangilah lemparan tersebut walaupun dengan batu yang didapati di sekitar anda. Setelah selesai, majulah sedikit ke arah kanan, lalu berdirilah menghadap kiblat dan angkatlah kedua tangan anda untuk memohon (berdoa) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala segala apa yang diinginkan. Lalu pergilah menuju jumrah Wustha. Setiba di jumrah Wustha, lakukanlah seperti apa yang anda lakukan di jumrah Sughra. Setelah selesai, majulah sedikit ke arah kiri, berdirilah menghadap kiblat, dan angkatlah kedua tangan anda untuk memohon (berdoa) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala segala apa yang diinginkan. Lalu pergilah menuju jumrah Aqabah. Setiba di jumrah Aqabah, lakukanlah seperti apa yang anda lakukan di jumrah Sughra dan Wustha. Setelah itu, tinggalkanlah jumrah Aqabah tanpa melakukan doa padanya.

26. Bila anda ingin mabit 2 malam saja di Mina (tanggal 11 dan 12 Dzul Hijjah), maka keluarlah dari Mina sebelum terbenamnya matahari tanggal 12 Dzul Hijjah, tentunya setelah melempar 3 jumrah yang ada (nafar awwal). Namun jika matahari telah terbenam dan anda masih berada di Mina, maka wajib untuk bermalam lagi dan melempar 3 jumrah di hari ke-13-nya (yang afdhal adalah mabit 3 malam di Mina/nafar tsani). Diperbolehkan bagi orang yang sakit atau pun lemah yang benar-benar tidak mampu melakukan pelemparan untuk mewakilkan pelemparannya kepada yang dapat mewakilinya. Sebagaimana diperbolehkan pula bagi orang yang mewakili, melakukan pelemparan untuk dirinya kemudian untuk orang yang diwakilinya diwaktu dan tempat yang sama (dengan batu yang berbeda).

27. Dengan selesainya anda dari kegiatan melempar 3 jumrah pada hari-hari tersebut (baik mengambil nafar awwal atau pun nafar tsani), berarti telah selesai pula dari kewajiban mabit di Mina. Sehingga diperbolehkan bagi anda untuk meninggalkan kota Mina dan kembali ke hotel atau maktab masing-masing yang ada di kota Makkah.

28. Bila anda hendak meninggalkan kota Makkah (baik yang akan melanjutkan perjalanan ke kota Madinah atau pun yang akan melanjutkan perjalanan ke tanah air), maka lakukanlah thawaf wada’ dengan pakaian biasa saja/bukan pakaian ihram dan tanpa Sa’i, kecuali bagi anda yang menjadikan thawaf ifadhah sebagai thawaf wada’nya maka harus bersa’i.
Demikianlah bimbingan manasik haji Tamattu’ yang kami ketahui berdasarkan dalil-dalilnya yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keterangan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Semoga taufiq dan hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu mengiringi kita semua, sehingga diberi kemudahan untuk meraih predikat haji mabrur, yang tiada balasan baginya kecuali Al-Jannah.
Amin Ya Mujibas Sa`ilin.

Sumber Bacaan:
1. At-Tahqiq wal-Idhah Lilkatsir Min Masa`ilil Hajji wal Umrah waz Ziyarah, Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
2. Hajjatun Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam Kama Rawaha ‘Anhu Jabir radhiyallahu ‘anhu, karya Asy-Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani.
3. Manasikul Hajji Wal ‘Umrah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
4. Al-Manhaj limuridil ‘Umrah wal Hajj, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
5. Shifat Hajjatin Nabi, karya Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu.
6. Dalilul Haajji wal Mu’tamir wa Zaa‘iri Masjidir Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Majmu’ah minal ‘Ulama, terbitan Departemen Agama Saudi Arabia.

1 Para ulama sepakat bahwasanya kaum wanita tidak diperbolehkan (makruh) mengeraskan talbiyahnya, sebagaimana yang dinukilkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi. Lihat Hajjatun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal. 51, catatan kaki no. 10.
2 Ini merupakan pendapat Asy-Syaikh Al-Albani. Lihat Hajjatun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal.57, catatan kaki no. 23.
3 Ini merupakan pendapat Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Lihat At-Tahqiq wal-Idhah hal. 39.
4 Sebagaimana penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin dalam Manasikul Hajji wal ‘Umrah.
5 Perbanyaklah bacaan talbiyah ini selama perjalanan haji anda, hingga akan melempar jumrah Aqabah pada tanggal 10 Dzul Hijjah (hari Idul Adha)
6 Berdasarkan riwayat Al-Bukhari, dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhum bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membolehkan bershaum di hari Tasyriq kecuali bagi seseorang yang berhaji (Tamattu’/Qiran, pen.) dan tidak mampu menyembelih hewan kurban. (Lihat Irwa`ul Ghalil, juz 4 hal. 132, dan keterangan Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Manasik Al-Hajji wal ‘Umrah)

(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc., judul asli Manasik Haji Untuk Anda. URL Sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=384

Read Full Post »

BATU UNTUK MELONTAR

Oleh: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Dari mana batu untuk melontar di ambil ? Bagaimana sifat melontar ? Dan apa hukum mencuci batu yang akan digunakan melontar ?

Jawaban
Batu diambil di Mina. Tapi jika seseorang mengambil batu pada hari Id dari Muzdalifah, maka diperbolehkan. Dan tidak disyariatkan mencuci batu tetapi langsung mengambilnya dari Mina atau Muzdalifah atau dari tanah haram yang lain. Sedangkan ukuran batu adalah kira-kira sebesar kotoran kambing dan tidak berbentuk runcing seperti pelor. Demikianlah yang dikatakan ulama fiqih. Adapun cara melontar adalah sebanyak tujuh batu pada hari Id, yaitu Jumrah Aqabah saja. Sedangkan pada hari-hari tasyriq maka sebanyak 21 batu setiap hari, masing-masing tujuh lontaran untuk Jumrah Ula, tujuh lontaran untuk Jumrah Wustha, dan tujuh lontaran untuk Jumrah ‘Aqabah.

MELONTAR DENGAN BATU YANG TERDAPAT DI SEKITAR TEMPAT MELONTAR

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah boleh bagi orang haji melontar jumrah dengan batu yang terdapat di sekitar tempat melontar ?

Jawaban
Boleh. Sebab pada asalnya batu di sekitar tempat melontar tidak digunakan melontar. Adapun batu-batu yang terdapat dalam bak tempat melontar, maka tidak boleh digunakan untuk melontar.

WAKTU, CARA, DAN JUMLAH LONTARAN

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kapan jama’ah haji memulai melontar ? Bagaimana caranya dan berapa kali melontar ? Dan di tempat manakah dia memulai dan mengakhiri melontar ?

Jawaban
Melontar pertama kali adalah melontar Jumrah ‘Aqabah pada hari Ied. Tetapi jika seseorang melakukannya pada tengah malam bagian kedua dari malam Ied, maka demikian itu cukup baginya. Sedangkan yang utama adalah melontar Jumrah ‘Aqabah antara waktu dhuha sampai terbenam matahari pada hari Ied.Tapi jika terlewatkan dari waktu itu, maka dapat melontar setelah terbenamnya matahari pada hari Ied. Caranya adalah dengan tujuh kali melontar dengan membaca takbir setiap kali melontar.

Adapun melontar pada hari-hari tasyriq adalah dilakukan setelah matahari condong ke barat (setelah dzuhur). Yaitu memulai dengan melontar Jumrah Ula yang dekat dengan masjid Al-Khaif sebanyak tujuh kali lontaran disertai takbir setiap melontar. Lalu Jumrah Wustha dengan tujuh kali melontar disertai takbir setiap kali melontar. Kemudian melontar di Jumrah ‘Aqabah sebanyak tujuh kali lontaran disertai takbir setiap kali melontar. Dan demikian itu dilakukan pada tanggal 11,12, dan 13 Dzulhijjah bagi orang yang tidak mempercepat pulang dari Mina. Tapi bagi orang yang ingin mempercepat pulang dari Mina, maka hanya sampai tanggal 12 Dzulhijjah.

Dan disunnahkan setelah melontar Jumrah Ula dan Jumrah Wustha berhenti di samping tempat melontar. Di mana setelah melontar Jumrah Ula disunahkan berdiri di arah kanan tempat melontar dengan menghadap kiblat seraya berdo’a panjang kepada Allah. Sedang sehabis melontar Jumrah Wustha disunnahkan berdiri disamping kiri tempat melontar dengan menghadap kiblat seraya berdo’a panjang kepada Allah. Tapi sehabis melontar Jumrah ‘Aqabah tidak disunnahkan berdiri di sampingnya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah melontar Jumrah Aqabah tidak berdiri disampingnya.

MELONTAR DENGAN BATU BEKAS LONTARAN ORANG LAIN

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian orang mengatakan tidak boleh melontar dengan batu yang telah digunakan melontar. Apakah demikian itu benar, dan apa dalilnya ?

Jawaban
Itu tidak benar. Sebab orang-orang yang berdalil bahwa batu yang telah digunakan melontar tidak boleh digunakan melontar lagi adalah dengan tiga alasan.

Pertama, Bahwa batu yang telah digunakan melontar seperti air yang telah digunakan untuk bersuci yang wajib. Kata mereka bahwa air yang telah digunakan bersuci yang wajib, maka hukumnya menjadi suci tetapi tidak mensucikan.

Kedua, Seperti hamba sahaya yang telah dimerdekakan maka tidak boleh dimerdekakan lagi untuk membayar kifarat atau lainnya.

Ketiga, Dengan mengatakan boleh menggunakan batu yang telah digunakan berarti memungkinkan semua orang yang haji melontar dengan satu batu. Di mana seseorang melontar dengan satu batu kemudian mengambilnya lagi dan melontar dengannya, lalu mengambilnya lagi dan melontar dengannya hingga sampai tujuh kali. Kemudian datang orang kedua dan mengambil batu tersebut lalu melontar dengannya, kemudian di ambil lagi untuk melontar hingga sampai tujuh kali.

Sesungguhnya ketiga alasan tersebut jika dianalisa, maka kita dapatkan memiliki kelemahan sekali.

Adapun terhadap alasan pertama, maka kami mengatakan tidak adanya koreksi dengan hukum asal. Bahwa mengatakan air yang telah digunakan untuk bersuci yang wajib menjadi “suci tidak mensucikan”, maka sesungguhnya tidak ada dalil atas demikian itu. Sebab tidak memungkinkan memindahkan air dari sifanya yang asli, yaitu suci, melainkan dengan dalil. Atas dasar ini maka air yang telah digunakan untuk bersuci yang wajib, maka dia tetap “suci dan mensucikan”. Jika tiada hukum asal yang menjadi sandaran maka batal hukum cabang yang diqiyaskannya. Sedang alasan kedua, yakni mengqiyaskan batu yang dilontarkan dengan hamba sahaya yang dimerdekakan, maka demikian itu mengqiyaskan kepada sesuatu yang tidak ada kesamaan. Sebab jika hamba sahaya telah dimerdekakan maka dia menjadi merdeka dan bukan hamba sahaya sehingga tidak ada tempat untuk memerdekakkan diri lagi. Tetapi tidak demikian dengan batu. Sebab ketika batu dilontarkan, maka dia juga masih tetap batu setelah dilontarkan. Sehingga tidak hilang arti karenanya dia layak untuk digunakan melontar. Karena itu jika hamba sahaya yang dimerdekakan menjadi budak lagi sebab alasan syar’i, maka dia boleh dimerdekakan untuk kedua kalinya. Lalu tentang alasan ketiga, yaitu mengharuskan dari yang demikian untuk mencukupkan melontar dengan satu batu, maka kami mengatakan, jika memungkinkan demikian itu maka akan ada.

Tapi hal ini tidak mungkin dan tidak akan ada seseorang pun yang condong kepadanya karena banyaknya batu. Atas dasar itu maka jika jatuh dari tanganmu satu batu atau lebih banyak disekitar tempat-tempat melontar, maka ambillah gantinya dari batu yang ada di sampingmu dan gunakanlah untuk melontar, walaupun kuat diduga bahwa batu itu telah digunakan untuk melontar maupun tidak.

[Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad]

Read Full Post »

WAKTU MELONTAR JUMRAH DAN HUKUM MELONTAR PADA MALAM HARI

Oleh: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kapan waktu mulai melontar jumrah pada hari-hari tasyriq dan kapan waktu terakhir ? Apakah sah melontar pada malam hari pada hari-hari tasyriq karena kepadatan dan kesulitan besar dalam melontar pada siang hari. Di mana sebagian manusia berpedoman dengan hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam shahihnya dari Ibnu Abbas, ia berkata:

” Artinya : Adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam ditanya pada hari nahar di Mina, maka beliau bersabda: “Tidak mengapa”. Lalu seseorang bertanya kepadanya seraya berkata: “Saya bercukur sebelum menyembelih kurban?”. Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda: “Sembelihlah, dan tidak mengapa”. Lalu seseorang berkata: “Saya melontar setelah sore?”. Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda: “Tidak mengapa”. [Hadits Riwayat Bukhari]

Mereka mengatakan, “Jika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam memperbolehkan seseorang melontar jumrah pada malam hari di hari nahar yang hukumnya wajib bagi setiap orang yang haji hingga dia dapat tahallul awal, lalu bagaimana dengan melontar pada tiga hari tasyriq yang lebih rendah tingkat wajibnya dari melontar pada hari nahar?. Ini menunjukkan bahwa melontar pada tiga hari tasyrik boleh dilakukan pada malam hari!”. Lalu apa hukum orang yang melontar jumrah pada malam hari dalam hari-hari tasyriq, dan apakah dia wajib membayar kifarat ? Mohon penjelasan hal ini beserta dalilnya.

Jawaban
Waktu melontar jumrah pada hari-hari tasyriq adalah dari lengsernya matahari ke arah barat setelah dzhuhur berdasarkan riwayat Imam Muslim dalam shahihnya, bahwa Jabir Radhiallahu ‘anhu berkata :

“Artinya : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melontar dalam hari nahar pada waktu dhuha dan melontar setelah (hari) itu ketika matahari telah bergeser ke barat” [Hadits Riwayat Muslim]

Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhu bahwa dia ditanya tentang hal tersebut, maka dia berkata.

“Artinya : Adalah kami menunggu-nunggu waktu, maka ketika matahari bergeser ke barat kami melontar” .[Hadits Riwayat Bukhari]

Demikian ini adalah pendapat jumhur ulama. Tetapi jika dalam keadaan darurat sehingga mengharuskan ia menunda melontar hingga malam hari maka tidak mengapa. Akan tetapi yang lebih hati-hati adalah melontar sebelum Maghrib bagi orang yan mampu melakukan demikian itu karena berpedoman kepada Sunnah dan keluar dari peselisihan.

Adapun hadits Ibnu Abbas yang disebutkan, maka bukan sebagai dalil melontar pada malam hari. Sebab penanya bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari nahar. Maka perkataannya, “Saya melontar setelah saya memasuki waktu sore” itu artinya dia melontar setelah matahari bergeser ke barat. Akan tetapi yang dapat dijadikan dalil melontar pada malam hari adalah karena tidak adanya teks yang jelas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan tidak bolehnya melontar pada malam hari, sedang hukum asalnya adalah boleh. Namun melontar pada siang hari lebih utama dan lebih hati-hati. Dan ketika ada kebutuhan yang mendorong untuk melontar pada malam hari maka tidak mengapa bila melontarnya pada malam yang matahari sudah terbenam sampai akhir malam. Adapun melontar pada hari yang akan datang maka tidak dapat dilakukan pada malam yang lewat darinya selain malam nahar bagi orang-orang yang lemah pada setengah malam bagian akhir. Adapun bagi orang-orang yang kuat maka yang sesuai sunnah adalah mereka melontar Jumrah A’qabah setelah terbit matahari sebagaimana telah disebutkan karena menggabungkan beberapa hadits yang menjelaskan hal tersebut. Wallahu a’lam.

TIDAK SAH MELONTAR JUMRAH SEBELUM MATAHARI CONDONG KE BARAT

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Pada waktu haji saya melontar jumrah seperempat jam sebelum adzan dzuhur. Apakah demikian itu berarti melontar setelah matahari condong ke barat ? Apakah saya wajib membayar kifarat jika melontar tersebut sebelum masuk waktunya ?

Jawaban
Anda wajib menyembelih kurban di Mekkah untuk orang-orang miskin di tanah suci. Sebab melontar jumrah pada hari tasyriq harus setelah matahari condong ke barat dan tidak sah jika dilakukan sebelumnya. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melontar pada hari tasyriq ketika matahari telah condong ke barat dan beliau bersabda : “Ambillah manasikmu dariku”. Maka kaum muslimin wajib mengikutinya dalam hal tersebut. Dan anda juga harus bertaubat kepada Allah karena melanggar syari’at. Semoga Allah mengampuni kami dan anda serta kepada semua kaum Muslimin.

WAKTU MELONTAR JUMRAH AQABAH, BAIK DALAM MENUNAIKAN ATAU KARENA MENGQADHA’

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kapa akhir waktu melontar Jumrah ‘Aqabah, baik dalam menunaikan maupun karena mengqadha ?

Jawaban
Melontar Jumrah untuk hari Id berakhir dengan terbitnya fajar malam ke-11 Dzulhijjah dan dimulai dari separuh kedua malam Idul Adha bagi orang-orang yang lemah dan lain-lain, seperti orang yang tidak mampu berdesak-desakan dengan manusia. Adapun melontar Jumrah Aqabah pada hari-hari tasyriq adalah seperti melontar Jumrah Ula dan Jumrah Wustha. Yaitu mulai dari tergelincirnya matahari ke barat (setelah dzuhur) sampai terbitnya fajar malam berikutnya. Kecuali pada hari akhir tasyriq, maka akhir melontar sampai matahari terbenam.

Meskipun melontar jumrah pada hari-hari tasyriq lebih baik dilakukan pada siang hari, tapi karena pada waktu-waktu tersebut terdapat kepadatan jamaah haji yang melontar dan tidak adanya kepedulian sebagian mereka atas sebagian yang lain, jika menghawatirkan kebinasaan, mudharat atau kesulitan berat, maka boleh melontar pada waktu malam dan tidak berdosa. Sebagaimana juga diperbolehkan melontar pada malam hari dan tidak berdosa karenanya meskipun bukan karena mengkhawatirkan dari kebinasaan dan yang sepertinya. Tapi yang utama adalah memperhatikan dengan seksama dalam masalah ini, sehingga seseorang tidak memilih melontar pada malam hari kecuali karena kondisi yang mendesak. Adapun waktu mengqadha melontar jumrah aqabah adalah setelah terbit fajar dari hari berikutnya.

MELONTAR JUMRAH PADA HARI TASYRIQ SEBELUM MATAHARI CONDONG KE BARAT (SEBELUM DZHUHUR)

Oleh: Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta ditanya : Seorang jamaah haji dari luar Saudi tidak mengetahui seluk beluk dalam bepergian, urusan ticket dan pesawat terbang. Ia bertanya, apakah memungkinkan menunda pemberangkatan kepulangan pada jam 4 sore (13-12-1405H). Maka dijawab, memungkinkan yang demikian itu. Kemudian dia menunda pemberangkatan pada waktu tersebut, dan dia mabit di Mina pada malam ke 13 Dzulhijjah. Pertanyaannya, apakah dia boleh melontar pada pagi hari (13 Dzhulhijjah) kemudian meninggalkan Mina ? Sebab jika dia terlewatkan setelah matahari condong ke barat maka dia terlambat pulang ke negaranya dan akan mengalami kesulitan besar serta berurusan dengan pemerinrtah.

Jawaban
Ia tidak boleh melontar sebelum matahari condong ke barat. Tetapi melontar gugur darinya karena keadaan darurat seperti itu. Namun dia wajib menyembelih kurban di Mina atau di Mekkah atau diwakilkan kepada orang yang akan menyembelihnya, dan dibagikan kepada orang-orang miskin, kemudian dia thawaf wada’ dan pulang ke negaranya.

Adapun pendapat yang mengatakan boleh melontar sebelum matahari condong ke barat, maka pendapat yang demikian itu tidak benar. Tapi yang benar, bahwa melontar setelah matahari condong ke barat (setelah dzuhur). Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ambillah manasikmu dariku”. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melontar melainkan setelah matahari condong ke barat adalah hanya pebuatan, sedangkan perbuatan tidak menunjukkan wajib, maka pernyataan itu benar. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan melontar setelah matahari condong ke barat dan juga tidak melarang melontar sebelum matahari condong ke barat. Tetapi yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melontar setelah matahari condong ke barat menunjukkan wajib melontar seperti itu. Alasannya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan melontar hingga matahari condong ke barat (telah datang waktu dzhuhur). Sebab jika melontar sebelum dzhuhur diperbolehkan niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya. Sebab demikian itu lebih mudah bagi manusia. Di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diberikan pilihan pada dua hal melainkan beliau memilih yang termudah di antara keduanya selama bukan perbuatan dosa. Dan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memilih yang termudah dalam melontar, yaitu melontar sebelum dzuhur, maka demikian itu menunjukkan bahwa melontar sebelum dzuhur adalah perbuatan dosa. Ini yang pertama.

Alasan kedua yang menunjukkan bahwa yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan wajib adalah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung melontar jumrah ketika matahari telah condong ke barat sebelum shalat dzhuur. Seakan akan beliau menunggu waktu matahari condong ke barat dengan penuh sabar untuk dapat segera melontar. Karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat dzuhur. Pada hal yang utama melakukan shalat pada awal waktu. Semua itu adalah karena waktu untuk melontar adalah setelah matahari condong ke barat.

[Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad]

Read Full Post »

MENGGABUNGKAN SEMUA KEWAJIBAN MELONTAR DALAM SATU HARI

Oleh: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah boleh bagi jama’ah haji melontar semua jumrah untuk hari-hari tasyriq dalam satu hari, baik pada hari Id, awal, hari tasyriq atau pada akhir hari tasyriq, kemudian dia mabit di Mina dua atau tiga hari tanpa melontar karena telah melontar semuanya dalam satu hari ? Apakah sah melontar jumrah yang seperti itu, ataukah harus berurutan sesuai hari masing-masing sampai akhir hari tasyriq ? Mohon penjelasan beserta dalilnya.

Jawaban
Melontar jumrah adalah satu kewajiban dalam haji yang harus dilakukan pada hari Id dan tiga hari tasyriq bagi orang-orang yang tidak ingin mempercepat pulang dari Mina, atau dalam hari Id dan dua hari tasyriq bagi orang yang ingin mempercepat pulang dari Mina. Adapun waktu melontar adalah setelah matahari condong ke barat seperti dilakukan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan dikuatkan dengan sabdanya : “Ambillah manasikmu dariku”. Karena itu tidak boleh mendahulukan melontar sebelum waktunya. Adapun mengakhirkannya karena kondisi terpaksa seperti berdesak-desakan, maka mayoritas ulama memperbolehkan karena mengqiyaskan dengan keadaan para penggembala. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada mereka melontar untuk hari Id setelah tengah malam Id dan menggabungkan melontar untuk dua hari tasyriq pada hari ke -12 Dzulhijjah.

Dalam melontar harus dilakukan secara berurutan. Pertama, melontar jumrah ‘aqabah pada hari Id, kemudian melontar tiga jumrah (ula, wustha, dan aqabah) pada hari tasyriq pertama, lalu melontar tiga jumrah pada hari tasyriq kedua, kemudian melontar tiga jumrah pada hari taysriq ketiga, jika tidak ingin mempercepat pulang dari Mina, atau hanya sampai hari tasyriq kedua bagi yang ingin mempercepat pulang dari Mina. Kemudian thawaf wada’ setelah itu. Wallahu ‘alam.

MELONTAR JUMRAH DENGAN SEKALI LEMPARAN

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya menunaikan haji wajib ketika usia 17 tahun bersama bapak, dan saya tidak mengerti tentang haji. Saya pergi bersama bapak untuk melontar jumrah lalu bapak mengambil semua batu dan melontarkan semuanya. Apakah haji saya sah atau tidak ?

Jawaban
Jika ayah anda melontar dengan tujuh batu dalam satu lontaran, maka wajib menyembelih kurban, yaitu sepertujuh unta atau sepertujuh sapi atau satu kambing, yang disembelih di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin di tanah suci. Sebab melontar jumrah dalam haji hukumnya wajib dan harus dilakukan tujuh kali lontaran satu persatu. Jika seseorang melontar dengan tujuh batu dalam satu lontaran, maka tidak dinilai baginya melainkan hanya satu lontaran. Sedangkan haji yang anda lakukan sah hukumnya dan tidak wajib mengulang haji pada tahun berikutnya, tapi hanya terdapat kekurangan yang harus disempurnakan dengan menyembelih kurban tersebut. Namun jika anda pergi haji lagi pada tahun berikutnya, maka demikian itu sunnah hukumnya. Dan bahwa dalam haji, baik haji wajib maupun haji sunnah terdapat pahala besar bagi orang yang melakukannya jika dilaksanakan menurut aturan syari’ah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Haji yang mabrur balasannya adalah surga” [Hadits Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim dan lainnya]

Adapun orang yang tidak mampu melontar, seperti orang yang sakit, berusia lanjut, wanita dan lain-lain, yang tidak mampu sampai ke tempat melontar, maka boleh mewakilkan melontar semua jumrah. Sebab Allah berfirman.

“Artinya : Maka bertakwalah kamu menurut kesanggupanmu” [At-Thagabun : 16]

Bahwa kewajiban setiap muslim laki-laki dan perempuan adalah mempelajari agama dan mengetahui hukum-hukum yang wajib, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan lain-lain. Sebab Allah menciptakan manusia dan jin untuk beribadah kepada-Nya dan tiada jalan untuk itu melainkan dengan belajar dan memahami agama. Terdapat riwayat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka Allah memberikan pemahaman kepadanya dalam urusan agama” [Muttafaqun alaih]

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan kepadanya jalan ke surga” [Hadits Riwayat Muslim]

Semoga Allah memberikan taufiq kepada semua kaum Musilimin dalam memperoleh ilmu yang menfa’at dan mengamalkannya, sesungguhnya Allah adalah yang terbaik tempat meminta

TERBALIK DALAM MELONTAR JUMRAH

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seorang kerabat saya pergi haji wajib pada tahun 1406H. Dan pada hari pertama melontar jumrah dia tidak melontar secara berurutan dari jumrah ula lalu jumrah wustha kemudian jumrah ‘aqabah. Kemudian dia mengetahui kesalahan itu pada hari kedua dan dia menyempurnakannya pada hari kedua dan hari ketiga, tetapi dia tidak melontar untuk hari pertama atau membayar kifarat. Setelah itu dia menyempurnakan semua manasik haji dan kembali ke negaranya. Kemudian dia mengirimkan surat untuk menanyakan kewajibannya atas kesalahannya karena orang-orang yang ditanya tentang hal tersebut berselisih pendapat. Mohon penjelasan.

Jawaban
Ia wajib menyembelih kurban, yaitu sepertujuh unta atau sepertujuh sapi atau satu kambing, dan disembelih di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin di tanah suci. Sebab dia mengetahui hukum tersebut pada hari-hari melontar dan tidak mengulang melontar yang benar menurut syar’i. Di mana terdapat riwayat shahih dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia berkata :

“Artinya : Barangsiapa yang meninggalkan ibadah (dalam haji) atau lupa, maka dia harus menyembelih kurban” [Hadits Riwayat Malij]

Sebab hadits ini nilainya marfu’ karena tidak semata-mata pendapat pribadi, terlebih bahwa tidak seorang sahabatpun yang berbeda dengan pendapat tersebut.

TIDAK SEGERA PULANG SETELAH MELONTAR PADA HARI TASYRIQ KEDUA

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum orang yang berada di Mina dua hari setelah Id dan mabit pada malam ketiga, apakah dia boleh melontar setelah terbit fajar atau setelah terbit matahari jika terdapat kondisi yang tidak mendukung ?

Jawaban
Siapa yang berada di Mina hingga mendapatkan malam ke-13 Dzulhijjah maka dia wajib mabit dan melontar setelah matahari condong ke barat dan dia tidak boleh sebelum waktu itu seperti dalam melontar pada dua hari sebelumnya. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih di Mina pada hari ke-13 Dzulhijjah dan beliau tidak melontar melainkan setelah matahari bergeser ke barat. Disamping itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda : “Ambillah manasikmu dariku”.

TIDAK MELONTAR PADA TANGGAL 12 DZULHIJJAH DAN TIDAK MABIT PADA MALAM KE-12 DZULHIJJAH

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya haji bersama istri untuk yang kedua kalinya dan anak-anak kami di Riyadh. Setelah melontar jumrah hari kedua (hari pertama tasyriq), kami ke Mekkah untuk menyelesaikan haji lalu pergi ke Riyadh karena kami mencemaskan dengan keadaan anak-anak kami. Tapi kami mewakilkan kepada seorang kerabat untuk melontarkan jumrah. Apakah demikian itu boleh, dan apa kewajiban kami ?

Jawaban
Kalian berdua harus bertaubat kepada Allah karena meninggalkan kewajiban melontar hari ke-12 Dzulhijjah, tidak bermalam di Mina pada malamnya, dan tidak thawaf wada’ pada waktunya, yaitu setelah selesai melontar. Dan bagi masing-masing kalian berdua wajib menyembelih kurban di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin di tanah suci karena meninggalkan melontar jumrah pada hari ke-12 Dzulhijjah dan meninggalkan thawaf wada’ karena dilakukan sebelum waktunya. Sebagaimana kalian berdua wajib sedekah kepada orang-orang sesuai kemampuan karena meninggalkan mabit di Mina pada malam ke-12 Dzulhijjah. Semoga Allah mengampuni kita dan anda semua.

BOLEH MEWAKILKAN MELONTAR JIKA TERDAPAT HALANGAN YANG DIBENARKAN SYARI’AT

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ibu dan dua saudariku mewakilkan kepadaku untuk melontar jumrah karena mereka takut berdesak-desakan. Apakah demikian itu boleh ?

Jawaban
Boleh mewakilkan jumrah jika tidak mampu melontar karena tidak mampunya berdesak-desakan atau karena sakit atau sebab lain yang dibenarkan secara syar’i

MLEONTAR PADA HARI KE-11 DZULHIJJAH KEMUDIAN THAWAF WADA’ DAN PULANG

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum orang yang melontar pada hari ke-11 Dzulhijjah kemudian thawaf wada’ dan pulang ?

Jawaban
Jika seseorang melontar jumrah pada hari ke-11 Dzulhijjah kemudian thawaf wada dan pulang, maka dia meninggalkan dua kewajiban, yaitu melontar jumrah untuk hari ke-12 Dzulhijjah dan mabit di Mina pada malamnya. Menurut mayoritas ulama, dia wajib menyembelih dua ekor kambing di Mekkah dan disedekahkan di sana.

MELONTAR JUMRAH SEBELUM MATAHARI CONDONG KE BARAT PADA HARI KEDUA (HARI TASYRIQ)

Oleh: Al-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta ditanya : Apa yang wajib dilakukan bagi orang melontar jumrah pada waktu dhuha setelah hari Idul Adha (hari tasyriq) kemudian setelah itu dia mengetahui bahwa waktu melontar jumrah setelah dzuhur ?

Jawaban
Barangsiapa melontar jumrah setelah hari Idul Adha sebelum matahari condong ke barat, maka dia wajib mengulanginya setelah matahari condong ke barat pada hari tersebut. Dan jika tidak mengetahui kesalahannya melainkan pada hari kedua atau ketiga hari tasyriq, maka dia wajib mengulangi melontar setelah matahari condong ke barat sebelum melontar untuk hari tersebut. Tapi jika dia tidak mengtahui melainkan setelah terbenamnya matahari pada akhir hari tasyriq, maka dia tidak wajib mengulanginya, namun wajib menyembelih kurban di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin.

CARA MELONTAR JUMRAH BAGI ORANG YANG MENGAKHIRKAN SAMPAI AKHIR HARI TASYRIQ KARENA SAKIT ATAU USIA LANJUT

Pertanyaan
Al-Lajnaha Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Jika jama’ah haji mengakhirkan melontar jumrah sampai akhir hari tasyriq karena sakit, usia lanjut atau takut berdesak-desakan, apakah dia melontar jumrah ‘aqabah dan jumrah-jumrah lain dalam satu tahapan ? Ataukah dia harus melontar untuk setiap hari dengan cara tersendiri, maksudnya dia harus menlontar untuk hari pertama, kemudian memulai melontar untuk hari kedua dan seterusnya, walau demikian itu berat ?

Jawaban
Ia melontar jumrah aqabah dahulu, lalu melontar tiga jumrah secara berurutan dari jumrah ula lalu jumrah wustha kemudian jumrah aqabah untuk hari ke-11, kemudian melontar tiga jumrah secara berurutan untuk hari ke-12, kemudian untuk hari ke-13 jika dia tidak bersegera meninggalkan Mekkah sebelum matahari terbenam hari ke-12 Dzulhijjah. Sebab yang sunnah adalah melontar setiap hari pada waktunya sesuai kemampuan.

[Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad]

Read Full Post »